SERAMBI ACEH
Fri, Jun 4th 2010, 11:41
In Memoriam Hasan Tiro
Berakhirnya Sebuah Catatan Harian
“Tumbuh suburkan terus perdamaian Aceh. Andai saya mati besok, perdamaian Aceh harus tetap berlanjut.” (Hasan Tiro, 11 Oktober 2008) TEUNGKU HASAN TIRO yang Kamis kemarin tutup usia menjelang 85 tahun adalah sosok yang sangat cinta Aceh, seperti kecintaannya terhadap Indonesia pada awalnya. Ia tadinya nasionalis sejati, mengabdi sepenuh hati untuk republik ini. Bahkan saat berumur 20 pada tahun 1945 ia ikut menggerek Bendera Merah Putih di kampungnya, Tanjong Bungong, Pidie.
Hasan Tiro muda mendapat banyak pengajaran tentang nasionalisme dari guru idolanya, HM Nur El-Ibrahimi. Itu sebab, ketika tokoh-tokoh Aceh mendukung kemerdekaan Indonesia, Hasan Tiro yang masih muda langsung bergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia di daerahnya. Lalu pada 24 September 1945, keluarga besar Tiro, termasuk pamannya, Umar Tiro, mengaku setia kepada Indonesia.
Ia juga tak pernah menampik ketika mendapat beasiswa dari Pemerintah Indonesia untuk kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Karena jenius, Hasan Tiro direkomendasikan Teungku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Syafruddin Prawiranegara, untuk kuliah di UII. Hasan Tiro diterima di Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949. Di universitas ini namanya tercatat sebagai pendiri Pustaka UII bersama Kahar Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan DI/TII bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo (1953-1962).
Tamat dari UII, Hasan Tiro kembali ke Aceh, bekerja pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara. Saat itu ibu kota negara dipindah ke Aceh, mengingat Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia sudah dikuasai Belanda saat terjadi agresi kedua Belanda.
Saat umurnya 25 tahun, pria kelahiran 25 September 1925 ini terpilih sebagai mahasiswa yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan program magister dan doktoral di Universitas Columbia, Amerika Serikat (AS). Ia akhirnya kuliah di Jurusan Politik dan Hukum Internasional. Disertasi doktornya yang berjudul “Konstitusionalisme Kesultanan Aceh” menunjukkan betapa ia paham dan cinta Aceh.
Sambil kuliah, Hasan Tiro bekerja pada Perutusan Tetap RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkantor di New York. Tapi karena merasa Jakarta “melukai” Aceh, nuraninya berontak, lalu berbalik memusuhi Pemerintah Indonesia. Ia bahkan rela melepas jabatan Staf Penerangan PTRI untuk PBB, semata-mata demi Aceh.
Itu terjadi ketika ia–berdasarkan mandat yang diberikan Teungku Daud Beureueh, pemimpin DI/TII di Aceh–mendaftarkan diri sebagai Menteri/Duta Besar Darul Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB pada tahun 1954, saat DI/TII bergolak di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Tapi PBB menolak Hasan Tiro.
Awalnya nurani Hasan Tiro tergetar saat mendapat kabar di New York bahwa sekitar 92 warga sipil di Pulot, Cot Jeumpa Leupung, Aceh Besar, dibantai serdadu republik pada 26 Februari 1954. Ini ekses akibat ditembaknya belasan prajurit Indonesia oleh mujahidin DI/TII Aceh dua pekan sebelumnya. Karena para mujahid sudah menghilang dari kawasan itu, maka warga sipillah yang dijejerkan di pinggir laut, lalu ditembak mati. Hanya satu yang tersisa hidup. Ia pula yang membeberkan pembantaian sadis itu kepada Acha, wartawan Harian Peristiwa. Asahi Simbun, Washington Post, dan New York Times ikut melansir berita tersebut, sehingga Hasan Tiro membacanya.
Dari kota “melting pot” New York, spontan ia layangkan surat pada 1 September 1954 kepada Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo. Ia desak Indonesia minta maaf dan mengakui bahwa pembantaian warga sipil tersebut merupakan genosida (pembantaian etnis Aceh). Para pelaku dia minta dihukum berat.
Ia beri tenggat waktu sekitar dua minggu kepada Ali Sastro merespons tuntutannya. Jika tidak, maka Hasan Tiro akan resmi mendaftarkan dirinya sebagai Dubes Darul Islam Indonesia di PBB. Karena Ali Sastro tak menggubris, gertakan itu akhirnya jadi kenyataan. Ini pemberontakan pertama Hasan Tiro kepada Indonesia. Akibatnya, paspor diplomatiknya dicabut, sehingga ia menjadi sosok yang tak punya kewarganegaraan (stateless). Untung ia tak ditahan Imigrasi AS, karena mampu membayar denda 500 US dolar. Untung pula ada dua senator AS kenalannya yang membuat rekom, sehingga Hasan Tiro mendapat status permanent residence di New York.
Setamat kuliah S3 di Columbia University, Hasan Tiro menikahi Dora, perempuan keturunan Iran berkebangsaan Amerika. Dari basil perkawinan itu, pasangan ini dianugerahi putra tunggal, Karim Tiro.
Jauh dari Aceh makin menambah rasa keacehannya. Apalagi dia menganggap Aceh yang merupakan daerah modal justru dikhianati dan dilecehkan Jakarta. Baginya, Indonesia terlalu luas untuk diatur secara sentralistik dari Jakarta. Pada tahun 1958, Hasan Tiro menuangkan pemikiran dalam buku berjudul “Demokrasi untuk Indonesia”. Di situ ia tawarkan federasi sebagai bentuk Pemerintah Indonesia. Jadi, sebetulnya sejak DI/TII bergolak pada 1950-an, sudah tertanam benih-benih “Aceh harus bebas dari penindasan Jakarta” di benak Hasan Tiro. Kristalisasi ini berbuah pada 4 Desember 1976, saat ia deklarasikan Aceh Merdeka di Bukit Halimon, Luengputu, Pidie.
Ada dua dokumen penting yang dia dapat di Markas PBB yang membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dokumen itu berupa Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain. Ia menilai, Perang Belanda terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Selain itu, Belanda tak berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi Meja Bundar 1949–kepada Indonesia (Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh atas Aceh, malah lari meninggalkan Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama masuk Aceh.
Ditambah alasan-alasan sejarah, etnosentris, dan penguasaan ekonomi oleh Jakarta atas Aceh, membuat Hasan Tiro punya banyak alasan menyambung perjuangan kakek buyutnya, Tgk Chik Di Tiro, untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Ia mengimajinasikan sebuah negara/kerajaan sambungan (succesor state). Untuk itu, Aceh harus mandiri dari Indonesia.
Tinggalkan Karim
Untuk mewujudkan obsesinya, pada 4 September 1976, Hasan Tiro meninggalkan kehidupan penuh glamor, istri yang cantik (Dora), dan anak semata wayang (Karim) yang baru berumur 6 tahun di Riverdale, New York, lalu ia kembali ke Aceh untuk berjuang memisahkan Aceh. Pada 4 Desember 1976 ia deklarasikan Aceh Merdeka. Ini maklumat perang untuk Indonesia. Sejak itu, resmilah Hasan Tiro untuk kedua kalinya menjadi musuh utama republik. Padahal awalnya, Hasan Tiro itu orang republik, sangat republiken, tapi akhirnya melawan republik karena ia merasa Jakarta mengkhianati Aceh lebih dari sekali.
Tahun 1981 ia tulis buku “The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan Tiro”. Catatan harian yang tak kunjung selesai itu ia tulis selama bergerilya di hutan Aceh. Menurutnya, hanya orang gila yang mau melakukan itu, mengingat tadinya ia hidup enak di New York. Hampir tiga dasawarsa perjuangan memerdekakan Aceh itu dia pimpin. Pengikutnya makin bertambah, demikian pula persenjataan dan personel terlatih. Semakin gencar GAM berjuang, semakin represif pula respons aparat keamanan Indonesia. Lalu, korban berjatuhan di sana-sini, lebih dari 33.000 orang tewas.
Tapi akhirnya, celah menuju damai tersibak. Setelah JoU Jeda Kemanusiaan pada tahun 2000 gagal, berganti dengan darurat militer dan darurat sipil, Allah menggenapkan darurat Aceh dengan darurat tsunami. Sekitar 200.000 warga Aceh meninggal dan hilang. Hasan Tiro yang saat itu menonton tayangan televisi di Norsborg, Swedia, menitikkan air mata. Aceh yang ingin dia rebut sedang luluh lantak. Terjerembab ke titik nadir peradaban. Perlu kondisi damai untuk membangun kembali Aceh dari keterpurukan.
Lalu, Hasan Tiro dan elite GAM menyahuti tawaran RI untuk berdamai di Helsinki. Perdamaian ini pula yang memungkinan Hasan Tiro dan Malik Mahmud yang awalnya paling dicari aparat keamanan Indonesia, bisa leluasa pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008. Setelah itu ia makin sering bolak balik dari ke Banda Aceh.
Saat batang usianya mendekati 85 tahun, ternyata ia berjodoh dengan Aceh, sekaligus dengan Indonesia. Kemarin ia wafat setelah 26 jam menjadi warga negara Indonesia kembali. Maka, catatan harian tentang dirinya pun berakhir sudah. Konflik Aceh berujung damai dan Hasan Tiro pun berpulang dalam damai.
Kita mencatat, Hasan Tiro adalah sosok sentral yang mempertinggi posisi tawar Aceh di mata Jakarta, sehingga di taman raya Indonesia, Aceh mendapat status otonomi khusus yang luar biasa. Terima kasih Teungku, selamat jalan Wali. Sebagaimana ia pesankan di awal tulisan ini, mari kita tumbuh suburkan terus perdamaian Aceh, kendati ia sudah tiada. (yarmen dinamika)