Kamis, 07 Agustus 2014

artikel Pengusaha Adalah Prajurit

artikel

Beberapa hari lalu saya diwawancarai oleh wartawan dari Majalah Investor Daily. Melalui posting ini saya ingin membagikan isi tulisan dari hasil wawancara itu di sini, yang mungkin bermanfaat untuk disimak.




Berkompetisi dalam bisnis, bagi seorang pengusaha, tak ada bedanya dengan bertempur di medan perang bagi seorang prajurit. Jika perhitungan yang salah di dunia bisnis bisa menyebabkan perusahaan bangkrut maka perhitungan yang salah di bidang militer dapat mengakibatkan prajurit gugur sia-sia.
Intinya, strategi bertahan dan ekspansi seorang pengusaha sama dengan strategi bertahan dan menyerang seorang prajurit. Setidaknya itu berlaku bagi Luhut Binsar Pandjaitan, mantan menteri perindustrian dan perdagangan (menperindag), mantan komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), dan mantan duta besar RI untuk Singapura, yang kini menjadi pengusaha.

Berangkat dari latar belakang militer, Luhut Pandjaitan memang lekat dengan kedisiplinan, taktik pertahanan, dan strategi penyerangan. Medan tempur telah membentuknya menjadi pribadi yang tegas, mengenal kemampuan diri sendiri, dan tahu bagaimana membentuk tim solid, bahkan di tengah situasi krisis sekalipun.
Di bidang militer, sederet jabatan mentereng pernah disandangnya. Salah satu catatan terbaik karier militer Luhut Pandjaitan adalah mendirikan sekaligus menjadi komandan pertama Datasemen 81 kesatuan baret merah Kopassus pada 1985. Datasemen 81 Kopassus adalah unit pasukan khusus penanggulangan terorisme yang pernah menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Lepas dari militer pada 1999, pria kelahiran Toba Samosir, 28 September 1947, ini malang-melintang di bidang pemerintahan. Pada masa krusial awal era reformasi, BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai presiden mengangkatnya menjadi duta besar RI untuk Singapura. Pada masa pemerintah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Luhut mendapat kepercayaan sebagai menperindag (2000-2001).
Sebagai putra Batak, Luhut tidak lupa dari mana dirinya berasal. Saat mengakhiri karier di pemerintahan pada 2001, purnawirawan jenderal TNI ini berinisiatif mendirikan yayasan sosial bernama Yayasan Del. Program pertama yayasan tersebut adalah mendirikan Politeknik Informatika Del, yang kini bernama Institut Teknologi Del. Sekolah ini didirikan di tepi Danau Toba.

Sekolah itu pula yang menuntunnya ke sebuah jalan hidup baru, yakni menjadi pengusaha. “Saya harus memelihara sekolah di Toba. Saya cari dana, salah satunya membangun sebuah bisnis. Konglomerat lain biasanya kaya raya dahulu, kemudian membuat yayasan. Kalau saya kebalikannya,” tutur Luhut Binsar Pandjaitan di kediamannya, bilangan Mega Kuningan, Jakarta, beberapa waktu silam.
Pada 2004, Luhut mulai merintis bisnis di bidang energi dan pertambangan dengan mendirikan PT Toba Sejahtra, induk dari produsen batu bara termal PT Toba Bara Sejahtra Tbk. Toba Bara yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham TOBA, saat ini memiliki tiga anak usaha yang bergerak di bidang produksi batu bara, yaitu PT Adimitra Baratama Nusantara, PT Indomining, dan PT Trisensa Mineral Utama, serta satu di bidang produksi kelapa sawit, PT Perkebunan Kaltim Utama I.

Toba Bara yang menjadi produsen batubara sejak 2006 mengoperasikan tiga konsesi tambang di Kalimantan Timur. Luas keseluruhan konsesi tambang perseroan mencapai 7.087 hektare dengan total estimasi sumber daya 236 juta ton. Selain itu, ada satu perusahaan konsesi batu bara yang langsung dikendalikan Toba Sejahtra Grup, yaitu PT Kutai Energi. Toba Sejahtra juga merambah bisnis lain, mulai sektor listrik, migas, hingga perkebunan.

Bisnis yang digeluti Luhut Pandjaitan cepat berkembang karena satu hal, yaitu keteguhannya memegang nilai-nilai keprajuritan. “Di dunia bisnis, kita harus melihat peta serangan. Perhatikan kekuatan logistik, kekuatan intelijen, sumber daya manusia, dan amunisi yang masih kita miliki. Kita harus mengukur kemampuan diri sendiri dan kekuatan lawan,” papar pria yang juga aktif di dunia politik itu.
Bagaimana Luhut membawa karakteristik militer yang sudah mendarah daging ke dunia bisnis yang dilakoninya? Bagaimana pula dia membangun karier? Berikut wawancara dengannya.

Bagaimana Anda bisa sampai di posisi sekarang?

Latar belakang saya paling lama di Kopassus TNI AD. Tim saya pernah diterjunkan di Timor Timur pada Desember 1975. Ketika berkarier di militer, saya juga membentuk satuan antiteror di Kopassus. Satuan itu pernah didaulat sebagai satuan khusus terbaik di dunia.

Karier saya berlanjut saat diangkat menjadi dubes RI untuk Singapura oleh Pak BJ Habibie. Waktu itu saya melihat hal baru dari bisnis, politik, dan diplomasi. Pada dasarnya, apa yang saya lihat kala menjabat sebagai dubes menjadi pelajaran saya di kemudian hari. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Gus Dur, saya diangkat menjadi menperindag pada Kabinet Persatuan Nasional.

Setelah berhenti menjadi menteri pada 2001, ya jujur saja, saya bingung mau menjadi apa. Waktu itu umur saya baru 53 tahun. Saya pernah menjadi penasihat (advisor) membantu Ical (Aburizal Bakrie). Nah, dari situ saya mulai berpikir terjun ke bisnis. Saya sudah punya yayasan di sekitar Danau Toba. Untuk membiayai dalam jangka panjang, harus ada uang yang cukup.Toh, saya juga punya banyak koneksi.

Saya memulai bisnis di PT Kiani Kertas dengan Pak Prabowo Subianto. Saya kemudian keluar dari sana dan akhirnya memutuskan untuk membikin perusahaan sendiri. Mulailah saya masuk sektor energi. Sebelumnya saya berencana lebih dahulu masuk sektor listrik. Cuma sepertinya balik modal di sektor listrik cukup lama.
Saya pikir, sektor bisnis yang cukup stabil adalah tambang. Saya pernah mendapat jaringan dari bupati Kartanegara (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Red) berupa satu konsesi batu bara. Saat pertama kali produksi, harga batu bara lebih rendah dari sekarang. Kalaupun ada marginnya, itu tipis sekali. Proses pengembangan bisnis cukup panjang. Bisnis pun terus berjalan, ternyata harga batu bara mulai naik. Bahkan di kemudian hari ditemukan cadangannya lumayan banyak. Ini di luar perkiraan kami.

Itu yang mendorong Anda mengembangkan bisnis lainnya?

Selang beberapa tahun, saya berpikir, tidak mungkin saya berjalan sendiri. Saat di militer, saya belajar mencari orang yang tepat dengan jabatan yang tepat. Mulailah saya mencari anak-anak muda yang berbakat, kebanyakan lulusan luar negeri.

Saya berusaha membentuk tim yang kuat dan mempunyai tujuan serta target-target yang jelas. Ketika bisnis batu bara ini mulai menguntungkan, saya kembangkan dengan membeli sejumlah aset, mulai dari tanah sampai gedung.

Kami juga terus mengembangkan bisnis pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Palu, Sulawesi Tengah. Pada 2007, kami memulai dengan kapasitas 35 MW, dan saat ini sudah menjadi 60 MW. Rencananya akan kami kembangkan lagi dengan kapasitas 100 MW.

Ada juga proyek pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) di Senipah Kutai Kartanegara. Saat ini memiliki daya 125 MW dan bakal kami kembangkan menjadi 500 MW.

Nah, dari sini sampailah saya pada sebuah kesimpulan bahwa pintar memilih bisnis itu penting. Saya paham leadership. Saya berangkat dari tentara. Hal tersebut saya bawa ke bisnis, dan saya mampu membuat tim yang kuat, sehingga Toba Bara menjadi salah satu perusahaan yang cukup sukses. Di tengah kondisi industri batu bara yang masih tertekan seperti sekarang, kami masih bisa bertumbuh.

Strategi yang Anda terapkan?

Kalau dihitung sejak awal produksi batu bara, perusahaan ini baru berumur sekitar delapan tahun. Kami berupaya efisien. Tim kami menghitung beban-beban apa saja yang besar. Lalu kami membuat bagaimana caranya agar beban-beban yang besar ini ditekan menjadi lebih efisien. Saat ini, produksi Toba Bara mencapai hampir 9 juta ton per tahun. Mimpi saya nanti bisa sampai 15 juta ton per tahun dalam waktu lima sampai enam tahun ke depan.

Untuk di sektor listrik, kami memasang target mengembangkan total 200 MW pada akhir tahun ini, dan dalam 10 tahun ke depan menjadi 1.500-2.000 MW. Saya juga ingin masuk ke bisnis geotermal, lalu sektor makanan dan komoditas, seperti kelapa sawit, gula, dan karet.

Ada rencana merambah bisnis lain?

Kami sudah memiliki kebun kelapa sawit, tidak besar, sekitar 11.000 hektare. Memang mencari tanah susah, kami sedang berencana membangun mills. Selain itu, Kami punya konsesi minyak di Madura. Luas konsesi minyaknya sekitar 4.000 km2. Lahan ini sudah kami bor. Saat ini sedang dalam rencana pengeboran yang kedua. Targetnya, kami lakukan pada akhir 2014.

Anda punya pengetahuan di bidang pertambangan?

Ya, sama saja seperti di militer. Kalau setiap hari kita mau langsung berkecimpung dan belajar, pasti optimitis bisa dilakukan. Berbicara soal investasi, saya juga harus berhati-hati, tidak mau salah ataupun rugi.
Permintaan terhadap sumber energi tidak pernah berkurang. Orang hidup harus menggunakan energi. Pada akhirnya, saya percaya apa yang saya pilih. Seperti listrik, orang tidak akan pernah kelebihan listrik, yang ada adalah orang selalu membutuhkan listrik. Bayangkan saja, kalau tidak listrik ya tidak ada industri.

Pandangan Anda tentang kebijakan pemerintah?

Ada sejumlah peraturan yang perlu diluruskan. Ini saya rasakan sendiri di lapangan. Pemerintah suka membuat peraturan tanpa berkonsultasi dengan Kadin Indonesia atau asosiasi. Misalnya saja listrik. Saat ini pemerintah masih menyubsidi bahan bakar minyak (BBM). BBM digunakan untuk listrik diesel.
Kenapa tidak dibuat bahan bakar dengan batu bara? Jatuhnya kan lebih murah. Efisiensi banyak sehingga anggaran subsidi BBM bisa dialihkan ke yang lain, bisa ke sektor infrastruktur seperti jalan atau sektor transportasi seperti kereta api.

Mengapa itu terjadi?
Pemerintah terkadang tidak menggunakan orang pada jabatan yang tepat. Kadang hanya menempatkan seseorang karena berdasarkan agama dan suku. Itu merugikan organisasi. Kalau masih mendikotomikan suku, agama, dan ras, yang rugi ya organisasi itu. Dalam skala lebih besar, yang rugi adalah negara.
Di militer, hal seperti itu ada, di pemerintahan juga saya lihat cukup kental. Kalau itu bisa diubah, saya yakin negara bisa sukses. Saya berharap dalam 10-15 tahun lagi akan ada generasi yang lebih baik.
Satu lagi, dahulu Kementerian Perdagangan dan Perindustrian menjadi satu, saya kira nanti perlu disatukan lagi, karena keduanya selalu berkontradiksi. Perdagangan biasanya ingin bebas sebebas-bebasnya, sedangkan industri harus terproteksi.

Filosofi Anda?
Sesuai pengalaman saya menjadi tentara, saya tidak akan bergerak atau melakukan sebuah investasi jika saya tidak percaya atau berhitung secara matang. Saya pernah juga gagal, ketika bisnis pengelolaan metering listrik. Saya memang tidak rugi besar. Tapi ada kalanya saya berpikir ada ketidakadilan. Terkadang pemerintah hanya berpihak kepada pengusaha-pengusaha yang besar saja.
Satu lagi, di militer, saya belajar untuk melihat seberapa besar kekuatan yang saya miliki ketika melaksanakan sebuah tugas. Harus ada proses, setahap demi setahap dilakukan. Mungkin saat ini saya belum punya rencana ekspansi yang signifikan. Tapi kemungkinan saya akan lakukan ekspansi dua sampai tiga tahun lagi.

Ibaratnya, kita harus melihat peta serangan. Perhatikan kekuatan logistik, kekuatan intelijen, sumber daya manusia, dan amunisi yang masih kita miliki. Jangan sampai kita tidak perhitungkan, dan di kemudian hari kita terjebak dalam kondisi yang kaget, di mana amunisi tiba-tiba sudah habis. Di militer itu ada yang namanya wargaming, kita harus hitung kelebihan dan kekurangan.

Bagaimana dengan bidang pendidikan yang Anda rintis?

Saya pikir, saya masuk bisnis tambang ini terpaksa. Saya harus memelihara sekolah saya di Toba yang tiga tahun lebih dulu ada dari perusahaan yang saya bangun. Konglomerat lain biasanya kaya-raya dahulu, baru setelah itu membuat yayasan amal.

Mungkin alam yang mendesain jalan saya seperti sekarang ini. Apakah perusahaan mencapai posisi sekarang karena kehebatan saya? Tidak juga. Saya pikir terlalu banyak faktor yang membuat perusahaan seperti saat ini. Saya bangga dengan tim saya, karena mereka bisa kuat dalam kondisi industri batubara seperti sekarang.

Obsesi Anda yang belum tercapai?

Sebenarnya sebagai seorang dengan latar belakang militer, saya sudah puas karena sudah mendapatkan pangkat bintang empat (jenderal penuh). Saya tidak pernah menjadi panglima, tapi saya dapat bintang empat. Saya pernah menjadi diplomat, lalu menteri, saya punya keluarga yang baik sekali. Tuhan juga sangat baik kepada saya. Sekarang tinggal berbuat sesuatu kepada orang lain. Kalau nanti saya bisa dapat berkarya lagi di tempat lain, ya kita lihat nanti seperti apa.
___________
Penulis: RID / AZ/AB
Sumber:Investor Daily





Tidak ada komentar:

Posting Komentar