SAMOSIR, KOMPAS.com — Salah satu agenda menarik dalam
perhelatan Festival Danau Toba (FDT) 2013 di Kabupaten Samosir, Sumatera
Utara, adalah Lake Toba's World Drum Festival. Festival ini digelar
Selasa (10/9/2013) di Bukit Beta, Desa Tuktuk Siadong, Kecamatan
Ambarita, Kabupaten Samosir, yang dikoordinasi Rizaldi Siagian.
Para
peserta kegiatan ini bukan cuma dari dalam negeri, tetapi juga dari
luar negeri. Peserta dalam negeri di antaranya Pargonsi atau para
pemusik gendang bermelodi yang ada di kawasan Danau Toba; Gendang Belek
dari Lombok; Kuntulan dari Banyuwangi; Dol dari Bengkulu, Gandang Tasa
dari Sumatera Barat; Balawan dari Bali ; dan Made Wiyanta dari Bali.
Peserta
dari luar negeri di antaranya Saingwaing dari Myanmar; Badema dari
Africa; Taiko dari Jepang; Michael dari Dalas Amerika; Jamal and Bridge
Ensemble; dan Poolvalur Sriji.
Rizaldi Siagian di sela kegiatan
menyebutkan, etnomusikologi dalam mempelajari ekspresi kebudayaan
musikal suatu tradisi adalah teknik memainkan dan konstruksi instrumen
musik dalam fungsi menyajikan atau menghasilkan produk musikal.
Kata
dia, dalam tradisi memainkan gendang, umumnya alat musik ini berfungsi
sebagai pengiring melodi atau lagu yang dimainkan oleh alat musik lain
atau vokal melalui berbagai bentuk dan pola ritmis yang diciptakan.
Namun, ada pula gendang yang fungsinya adalah memainkan melodi (membawa
lagu) di dalam suatu komposisi musik. Gendang seperti ini disebut dengan
drum chime (gendang pembawa melodi).
"Menurut
catatan para ahli, sejauh ini tradisi gendang jenis ini hanya terdapat
di tiga tempat, satu di Uganda (Afrika Timur) dengan nama entenga,
sedangkan dua lagi berada di Asia Tenggara, yaitu di Myanmar dengan nama
hsaing waing, dan di Indonesia, persisnya di tengah-tengah masyarakat
Batak yang hidup di tepian Danau Toba," jelas Rizaldi.
Yang
menarik, lanjut Rizaldi, di kawasan Danau Toba variannya banyak dan
masing-masing dipelihara oleh lima sub-etnik Batak (Toba, Simalungun,
Pakpak/Dairi, Karo, dan Mandailing).
Drum chime yang terdapat di
Toba disebut taganing; di Simalungun disebut gondrang sipitu-pitu; di
Pakpak/Dairi disebut genderang merkata Si siba; di Karo disebut gendang
indung dan gendang anak; dan di Mandailing disebut gordang sambilan dan
gordang lima.
Dia membeberkan, dalam sejarah tradisi, drum
chime di Afrika Timur pernah mengalami kepunahan, dan menurut The
New Grove Dictionary Music and Musician, baru direvitalisasi pada tahun
1993 yang lalu. Di tanah Batak, terutama di paruh akhir abad dua puluh,
keberadaan taganing pernah dianggap sebagai "tradisi haram" sehingga
tidak diperkenan untuk ditampilkan di gereja; sementara itu tradisi
gordang sambilan di Mandailing sempat menghilang dari kegiatan
masyarakat karena dianggap "haram" juga.
Tradisi gordang lima,
oleh karena fungsinya untuk upacara-upacara terkait kepercayaan asli dan
status pemimpin spiritualnya (yang sering dituduh dukun), saat ini
sudah tidak digunakan lagi oleh masyarakat Mandailing.
Atas
dasar keunikan dan pentingnya tradisi ini, kata Rizaldi, dalam konteks
kehidupan kekinian dan fenomena globalisasi, maka gagasan untuk
menyelenggarakan Lake Toba's World Drum Festival menjadi masuk akal dan
sangat layak dilakukan di kawasan Danau Toba.
Dengan cara ini
diharapkan program pengembangan pariwisata budaya di kawasan Danau Toba
ini bisa sekaligus menjadi sumbangan yang penting bagi pelestarian
pusaka tradisi gendang dunia yang memainkan melodi ini.
"Kita
berharap di masa depan kawasan Danau Toba bisa menjadi 'rumah' bagi
tradisi gendang dunia, sekaligus menjadi tempat para maestro berbagi
pengalaman kebudayaan musikal yang sangat penting dalam konteks
globalisasi sekarang ini," harap Rizaldi.