Jumat, 05 November 2010

Presiden, Polisi Dan Pembiaran Negara

Editorial

31 Agustus 2010

Presiden, Polisi Dan Pembiaran Negara

Presiden,-Polisi-dan-Pembiaran-Negara.jpg
Negara Gagal Lemah Dan Lamban
Victor Silaen
(www.victorsilaen.com)
REFORMATA.com - MUNGKIN kita semua setuju untuk mengatakan satu hal  ini: bahwa kian lama presiden dan polisi di negara hukum (rechstaat) yang bernama Indonesia ini kian terlihat lemah di bidang penegakan hukum. Tunggu dulu, bukankah presiden tidak bertalian dengan bidang itu? Benar, walau tidak seluruhnya, karena jangan lupa bahwa presiden adalah orang nomor satu di republik ini. Itu berarti kekuasaan yang amat besar berada di genggamannya. Pula, presiden adalah atasannya polisi, sehingga presiden berotoritas penuh untuk memerintahkan polisi melakukan apa saja yang terkait dengan masalah penegakan hukum sekaligus untuk menjaga keamanan rakyat.
Terkait itu, apa yang sudah kita dengar sebagai pernyataan atau perintah presiden kepada polisi usai terjadinya peristiwa pembubaran paksa oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap pertemuan antara para korban Orde Baru dengan tiga anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, di Banyuwangi, Jawa Timur, 24 Juni lalu? Memalukan betul, wakil rakyat yang terhormat diperlukan seperti itu. Tapi lalu, apa sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Apa pula sikap Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri? Tidak jelas. Atau, kalaupun memberi pernyataan setelah itu, terkesan setengah hati.
Padahal tahun 2008, ketika menjalani proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR, calon Kapolri itu memaparkan Enam Komitmen yang akan dijalankannya jika jadi Kapolri. Salah satu komitmen itu berbunyi begini: “semua bentuk tindak kejahatan korupsi, perjudian, illegal logging, illegal fishing, illegal mining, dan kejahatan konvensional lainnya akan disikat, dan tidak ada kompromi”. Ck-ck-ck... tanpa kompromi? Hmm... kenyataannya sekarang? Bagaimana mau menyikat korupsi, lha di tubuh Polri sendiri terindikasi ada “rekening gendut” kok? Makanya, sebenar-nya kita tak perlu heran kalau organisasi kemasyarakatan (ormas) yang kerap melakukan aksi kekerasan, aksi main paksa, dan aksi main hakim sendiri terhadap pihak-pihak lain seperti FPI itu hingga kini masih digdaya. Lha wong polisinya pada melempem gitu kok ketika berhadap-hadapan dengan massa FPI atau ormas-ormas yang sejenisnya.
Akan halnya Presiden Yudho-yono, tak lama setelah Insiden Banyuwangi itu, ditagih janjinya soal negara tidak boleh kalah dengan aksi premanisme. “Kita minta kepada Presiden untuk mem-buktikan ucapannya bahwa negara tidak boleh kalah dengan perilaku premanisme,” kata anggota DPR dari F-PDIP Eva Kusuma Sundari saat jumpa pers bersama Kaukus Pancasila Parlemen DPR-DPD RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, 28 Juni lalu. Bukan apa-apa, soalnya presiden dan para menteri terkait bidang keamanan sudah ber-ulangkali mengeluarkan pernyataan “akan menindak tegas” atau “hukum akan dite-gakkan” terhadap para pelaku aksi kekerasan itu. Tapi, terbuktikah kemudian semua janji yang sejuk didengar itu? Pastinya tidak. Sebab kalau terbukti, tak mungkin orang-orang FPI masih jumawa hingga kini.
Sungguh, kita kece-wa melihat presiden yang lemah dan polisi yang melempem se-perti itu. Kita bertanya-tanya apa gerangan yang ter-jadi? Benarkah, seperti disinyalir selama ini, ada orang-orang kuat yang membekingi ormas-ormas penggemar aksi premanisme itu? Kalaupun benar, bukankah di negara hukum ini kekuasaan sebesar apa pun dan yang dimiliki pihak manapun seharusnya tunduk dan berpe-doman pada hukum? Itu berarti tak ada alasan bagi negara untuk tidak menindak tegas ormas-ormas tersebut sesuai hukum yang berlaku.
Bayangkan saja, sebelum Insiden Banyuwangi, ormas pro-prema-nisme itu pernah meneror warga Tionghoa di Singkawang, Kaliman-tan Barat, dengan menghancurkan patung Naga Emas. Disusul kemudian dengan pembongkaran terhadap karya seni patung Tiga Mojang di Perumahan Kota Harapan Indah, Bekasi. Berikutnya, giliran gereja HKBP di Tangerang dan Bekasi yang ditutup paksa. Yang membuat kita tidak habis pikir, bahkan di dalam kantor lembaga tinggi negara pun, yakni di Mahkamah Konstitusi, 24 Maret lalu, mereka berani melakukan aksi kekerasan terhadap pengacara yang mengajukan permohonan uji materiil UU Penodaan Agama (Uli Parulian dan Nurkholis). Bahkan terhadap seorang mantan presiden pun, mereka tak segan-segan berbuat serupa. Itulah yang terjadi tahun 2006 silam, di Purwakarta, Jawa Barat, ketika Abdurrahman Wahid diusir dari sebuah ruangan yang di dalamnya tengah digelar acara “Merajut Cinta yang Terserak, Merangkai Silaturahim Menuju Purwakarta Wibawa Karta Raharja”.
Masih terkait Wahid, tokoh pluralisme Indonesia yang telah mendahului kita itu, ingatlah Insiden Monas 1 Juni 2008 ketika massa FPI menyerang massa Aliansi Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama yang sedang memperingati hari lahir Pancasila itu. Sore hari itu juga, di TVOne, kita menyaksikan wawan-cara langsung dengan Habib Rizieq Shihab (Ketua Umum FPI) dan Maman Imanulhaq, anggota Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa dan pengasuh Pondok Pesantren Al Mizan, Cirebon, Jawa Barat. Maman adalah salah seorang korban penyerangan massa beratribut FPI itu. Di luar studio, Rizieq yang berada di kantor pusat FPI di bilangan Petamburan, Jakarta, saat itu nyerocos terus dan tampak sangat garang (sementara Maman yang berada di sebuah tempat yang dijadikan studio TVOne tampak berupaya menahan diri).
Yang kita persoalkan adalah ucapan-ucapan Rizieq yang sangat melukai hati kita sebagai warga negara Indonesia. Dia, antara lain, mengatakan begini: “Gus Dur itu tahu apa? Dia kan buta... buta matanya, buta hatinya.” Lalu, di bagian lain dia juga berkata: “Jangankan satu Gus Dur, satu juta Gus Dur pun akan saya hadapi.” Jelas, ucapan Rizieq sudah melecehkan Wahid — dan kita tak rela mantan presiden kita dilecehkan seperti itu. Tapi, adakah Presiden dan Kapolri menyatakan sikap tegasnya saat itu? Tidak sama sekali. 
Yang teraktual adalah peristiwa pembongkaran Gereja Pantekosta di Jalan Raya Narogong, Kampung Bakon RT 01/04 Desa Limus-nunggal, Keca­mat­an Cileungsi, Kabupaten Bogor, Senin siang, 19 Juli lalu. Pelakunya adalah pihak Satpol PP Kabupaten Bogor, atas perintah Bupati Bogor Rachmat Yasin (dari partai PKS). Mengapa gereja itu dibongkar? Lagu lama... izin tempat itu bukan untuk ibadah.
Sehari sebelumnya peristiwa serupa ham-pir saja dialami gereja HKBP Pondok Timur, Kelurahan/Kecamatan Mestika Jaya, Kota Bekasi. Sabtu malam, Pendeta Luspida Si-manjuntak menerima sms (pesan pendek) tentang akan adanya penyerangan terha-dap gerejanya esok pagi. Dilaporkan kemudian oleh Pdt. Luspida, sekitar pukul 07.35 WIB Minggu pagi itu, massa yang berjumlah kira-kira 300 orang sudah mulai menduduki gereja. Syukurlah, polisi dan tentara setempat sudah berjaga-jaga, walau jumlah mereka sedikit, tapi makin siang makin banyak. Akhirnya, pukul 12.30 WIB siang itu, massa membubarkan diri setelah para anggota jemaat gereja meninggalkan tempat ibadah mereka.
Tak pelak, Presiden harus turun tangan dan memerintahkan Kapolri untuk bertindak tegas terhadap ormas-ormas pro-premanisme itu. Kalau tidak, maka kita umumkan saja kepada dunia bahwa Indonesia sudah menjadi negara gagal, karena sudah tak mampu lagi melindungi rakyatnya dari aksi kekerasan yang dilakukan oleh sesama warga sendiri. Atau, kita katakan saja kepada dunia bahwa Indonesia sengaja mela-kukan kekerasan melalui pem-biaran, karena pada kenyataannya tidak melakukan upaya maksimal di saat rakyatnya terancam bahaya.
Terkait ancaman terhadap penggunaan tempat beribadah, khususnya yang dialami umat Kristen akhir-akhir ini, pihak Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sebenarnya sudah menyurati Presiden Yudhoyono. Tapi, menurut Sekum PGI Pendeta Gomar Gultom, hingga kini Yudhoyono belum menjawab surat PGI tersebut. Artinya, sang presiden pilihan rakyat langsung itu memang lamban.
Akan halnya terhadap Kapolri Jenderal Bambang Danuri, 14 Juli lalu, sejumlah aktivis ornop dan pro-kebebasan beragama sampai menyempatkan diri untuk mendatangi kantor Mabes Polri guna berdialog sekaligus meminta ketegasan Kapolri untuk men-cegah terjadinya aksi-aksi pre-manisme ke depan. Memalukan sebenarnya, mengapa Kapolri harus didatangi rakyat untuk menunaikan tugas yang sudah menjadi tanggungjawab dan keniscayaan itu?
Inilah negara gagal yang sekaligus paradoks: di satu sisi dikenal sebagai negara dengan bangsa yang pluralistik dan amat religius, namun pada saat bersamaan adanya hasrat besar untuk menafikan pluralitas itu ternyata dibiarkan saja. Dikenal rukun dalam kehidupan antar-umatnya, tetapi nyatanya cukup sering terjadi aksi yang meresah-kan atas nama agama dari umat beragama yang satu kepada umat beragama yang lainnya. Kebe-basan beragama diakui sebagai HAM dan dijamin secara konsti-tusional, namun di sisi lain hambatan-hambatan bagi per-wujudan kebebasan beragama dari umat beragama tertentu seakan dibiarkan terus-menerus.
Sekarang terpulang kepada pemerintah. Setidaknya kepada Presiden dan Kapolri kita patut bertanya: masih adakah good will untuk menyelamatkan negara ini? Itulah yang harus dijawab, bukan dengan kata-kata santun tanpa substansi dan non-imperatif pula. Melainkan dengan perhatian dan tindakan nyata, dan dengan tak henti-hentinya berseru lantang sampai ormas-ormas pro-premanisme itu berubah wujud tak lagi lagi sebagai vigilante (kelompok warga yang gemar melakukan kekerasan dengan mengambil alih fungsi penegakan hukum).v

Comments

Alki Tombuku, 02.09.10 19:37
Kalau saja orang Kristen mau membalas kejahatan dengan kejahatan, di SULUT, PAPUA, TAPANULI UTARA, KALBAR ada banyak sekali MASJID yang tidak memiliki izin TAPI syukur orang Kristen diajarkan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan Hanya pemerinta seharusnya menindak tegas pelaku dan ormas yang melakukan tindakan jahat tersebut Sepertinya, Pemerintah kita tidak punya rasa dan kepekaan

Post your comment


* Nama Anda :
* Email Anda :
* Deskripsi :
Chars  
* Security Code : 
Masukkan Kode Verifikasi!
Dikutip dari Reformata.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar