Kamis, 15 Agustus 2013

Bahaya Gerombolan di Sekitar Penguasa

TIBA-tiba mata ini dikejutkan dengan maraknya pemberitaan soal Ahok Center yang ikut mengelola penyaluran kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) lewat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hati-hati, lembaga “siluman” seperti ini perlu diwaspadai.

Dari laporan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah, jejaring tim sukses Wakil Gubernur Basuki T. Purnama alias Ahok itu menjadi mitra Pemprov untuk penyaluran CSR  dari 18 perusahaan. Tapi ini baru terungkap dari empat satuan kerja perangkat daerah/unit kerja perangkat daerah (SKPD/UKPD). Sementara di lingkungan Pemda DKI Jakarta, jumlahnya ada 43 unit. Jangan-jangan malah semuanya bekerja sama dengan Ahok Center, yang tak jelas badan hukumnya.

Ini satu soal. Apalagi menurut Wagub Ahok, Ahok Center itu hanya jejaring. Sederhananya, mitra kerja Pemprov dalam menyalurkan CSR dari perusahaan-perusahaan itu, berarti tidak berbadan hukum.

Wagub juga mengaku bahwa Ahok Center bukan mitra. Tetapi hanya membantu mengawasi agar barang yang disalurkan tidak dicuri. Mungkin perlu dicarikan alasan yang lebih rasional, karena dari data yang dikeluarkan oleh BPKD, justru Ahok Center tercatat sebagai mitra.

Tampaknya paguyuban yang tak jelas badan hukumnya itu – karena belum ada yang mau terbuka termasuk Wagub Ahok – sudah lama bergerilya. Indikasinya jelas, bantuan sosialnya sudah disalurkan.

Model paguyuban, yayasan, atau apa pun wujudnya yang dibentuk di sekitar penguasa, memang masih laku. Jangan-jangan, mirip dengan yang terjadi saat negara ini dipimpin oleh almarhum Presiden Soeharto dulu. Banyak yayasan berdiri di sekitarnya. Timbunan dana pun menggunung.

Bahkan sesudah reformasi pun praktik serupa masih terjadi. Begitu pun saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Satu di antaranya, lahir Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian alias YKDK. Yayasan ini diketuai oleh Arwin Rasyid, Direktur Utama Bank CIMB Niaga. Tentu saat jadi ketua, belum jadi petinggi bank milik Khazahan, BUMN Malaysia itu.

Nama sejumlah menteri juga tercantum dalam yayasan sebagai dewan pengawas. Ada Djoko Suyanto (Menko Politik dan Keamanan), Purnomo Yusgiantoro (Menteri Pertahanan), M.S Hidayat (Menteri Perindustrian), serta Sutanto (mantan Kepala Polri dan BIN, kini sebagai Komisaris Utama PT Ancora Indonesia Resources milik Gita Wirjawan).

Mengapa gerombolan – untuk memudahkan penyebutan, karena bentuknya berbeda-beda: ada yayasan, ada pula yang bergerak tak kelihatan seperti Ahok Center - di sekitar penguasa ini perlu diwaspadai?

Gerombolan seperti ini, bagi “juru runding” pengusaha atau para pelobi, merupakan pintu masuk paling efektif ke para pengambil keputusan. Tanpa birokrasi. Bahasa yang digunakan pun pada umumnya jelas. Tiket masuknya berupa sumbangan.

Kemudian, gerombolan di sekitar penguasa juga bisa dijadikan kantong pengumpul setoran. Relatif sulit terdeteksi oleh penegak hukum, karena hubungannya bisa dari swasta ke swasta.

Mudahnya, sebagai contoh, istri seorang pejabat senior di lingkungan penguasa bentuk yayasan. Tapi jangan berharap lembaga sosial itu bergerak seperti yang Anda bayangkan. Sebab digunakan untuk menampung uang suap.

Modusnya, jika ada pihak berkepentingan untuk berhubungan dengan penguasa, yayasan tersebut bisa jadi pintu masuk. Berilah sumbangan miliaran. Niscaya pejabat senior itu akan menjadi penuntun ke ruang penguasa yang disasar. Tentu masih banyak modus lainnya.

Dalam hubungan ini, jangan berburuk sangka bahwa penguasanya adalah korban. Malah bisa jadi pelaku aktif. Sebab, kehadiran gerombolan – tidak mungkin tanpa restu – setidaknya memberikan keuntungan finansial. Selain bisa digunakan untuk melanggengkan kekuasaan, juga bisa memenuhi hasrat lainnya dengan materi berlimpah.

Karena itu, menurut saya, gerombolan tanpa bentuk bernama Ahok Center juga perlu dicermati keberadaannya. Apalagi sudah jelas posisinya sebagai mitra sejumlah unit kerja Pemprov DKI dalam menyalurkan dana-dana sosial perusahaan.

Apalagi, jika memang bentuknya tidak jelas seperti dikemukakan Wagub Ahok, lebih tragis lagi. Itu berarti Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan lembaga tanpa badan hukum.

Herry Gunawan, Pendiri Plasadana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar